Google: Jalan Pintas Bikin Gak Cerdas
By: Obaidillah
Google, siapa yang tidak tahu mesin pencarian internet yang satu ini? Bahkan mesin pencari ini menurut laman bursateknologi.com, disinyalir sebagai search engine nomor satu di dunia dengan kecepatan melebihi para rival lain yang sejenis. Google menempati urutan pertama setelah Youtube, disusul kemudian Facebook yang menempati urutan ke-3 (www.alexa.com/topsites). Pemanfaatan akses ini digunakan hampir di tiap golongan masyarakat yang melek akan informasi berbau internet.
Dalam dekade belakangan ini, Google sudah menjadi tempat rujukan ilmiah bagi pelajar dan mahasiswa, lebih-lebih bagi mereka yang merasa kesulitan mencari referensi. Namun kemudian bukan tidak menemukan lagi referensi dalam buku-buku perpus. Masih banyak realitas lain yang tentunya tak jauh berbeda dengan tulisan di atas. Hal ini hanya sebagian dari fenomena perkembangan teknologi mutakhir saat ini.
Ya, pesatnya perkembangan teknologi era sekarang, semakin memudahkan manusia untuk mendapatkan hal-hal yang dibutuhkan. Internet yang bernaung di bawah dunia teknologi, kini hadir sebagai media yang multifungsi. Tidak diragukan lagi, kehadiran internet telah membawa dampak besar yang sangat berpengaruh pada perkembangan manusia.
Dalam tulisan kali ini lebih memfokuskan pada fenomena yang lebih khusus, yaitu mahasiswa. Dimana dalam hal ini aktivitas edukatif kesehariannya tidak hanya ditopang melalui kegiatan ceramah dosen, diskusi kelompok dan presentasi. Akan tetapi tugas take home dari dosen yang dikerjakan di luar kampus seperti makalah, jurnal, artikel maupun kegiatan tugas tulis lainnya.
Mahasiswa, dengan predikat lebih unggul daripada pelajar sekolahan, bukan berarti mutlak unggul dalam hal keilmuan. Terbukti tidak semuanya mahasiswa mampu mengerjakan tugas tulis dari dosen, tersebab tingkat intelektualnya yang berbeda. Persoalan seperti ini bukan hal sederhana, mengingat proses pembuatan tugas membutuhkan referensi dan kerja otak. Di samping itu, seringkali mahasiswa kesulitan membikin tugas dari dosen hingga pada akhirnya mereka memilih jalan pintas.
Dalam hal ini Google telah punya andil banyak membantu usernya (baca: mahasiswa) melewati rumitnya persoalan yang mereka hadapi. Bukan hal aneh ketika kemudian melihat mahasiswa berkonsentrasi duduk menatap laptop dengan jaringan internet terhubung lewat wi-fi, internet via gadget atau berada di warnet sedang men-search tugas mereka. Mereka melakukan hal ini karena dinilai relatif lebih simpel dan tidak banyak membuang waktu, tanpa peduli bahwa tugas mereka hanyalah tindakan plagiasi. Sebab yang memilih jalan pintas ini cukup dengan menekan Ctrl + A atau Drag Mouse kemudian mem-paste-kan ke lembar kerjanya. Artikel di internet yang berhubungan dengan tema tugas dan sekiranya diperlukan, tanpa pikir panjang dicomot-tempel. Ini tentu berbeda kasusnya dengan mengutip dan menjadikan referensi sumber rujukan, daripada mencomot tulisan orang lain ke tugas kita. Sebab fitrah referensi harusnya demikian sebagai dasar pijakan, penguat gagasan, argumen dan landasan teori berpikir. Dengan ini semua hal yang berkaitan dengan kreativitas dan kompetensi mahasiswa bisa berkembang.
Mahasiswa merupakan kaum intelektual yang sampai saat ini masih dipandang memiliki image positif oleh masyarakat. Kaum terpelajar dengan tingkat pengetahuan di atas rata-rata. Stereotipe seperti itu tentunya menjadi beban moral yang harus dipikul setiap mahasiswa. Namun melihat kenyataan di sekitar, pesona itupun makin pudar dengan sendirinya. Tugas kampus sebagai latihan-uji sudah tidak bisa dijadikan patokan sejauh mana kompetensi yang dimiliki seorang mahasiswa. Bagaimana akan menjadikan tolak ukur kompetensi jika take home seenaknya saja dikerjakan dengan copy-paste? Jika kebiasaan ini terus berlanjut seiring pesatnya perkembangan teknologi internet ke depan, bukan tidak mungkin jika mahasiswa tergiring pada dunia instan yang makin membodohkan ini.
Pembentukan Karakter
Dunia cyber dan segala kemudahan akses instannya, perlahan namun pasti sudah menggeser paradigma berpikir masyarakat pun mahasiswa khususnya. Kemudahan akses ini biasa kita lihat dan alami sendiri bahwa internet sudah menjadi pokok bahan konsumsi. Ketika kebutuhan tersebut yang awalnya tersier ke sekunder kemudian menjadi primer. Parahnya, realitas tersebut semakin melenakan hingga kita enak-enak menempuh jalan pintas ini. Efeknya, perlahan namun pasti, pola pikir mahasiswa pun tergerus kemudian menjadikan karakter pemalas. Karakter atau sifat pemalas semacam ini tentu sangat berbahaya bagi generasi kaum muda kedepan. Semua hal yang sebenarnya sulit dan butuh penyelesaian ideal jika memang ada jalan tempuh lain yang lebih instan, kenapa harus memilih yang sulit? Itulah sebagian efek ketergantungan pada media internet Google.
Belum lagi ketidaksiapan mahasiswa menerima tugas, hal ini bisa dilatarbelakangi banyak hal. Secara umum faktor ketidaksiapan ini berupa kondisi emosional dan terbatasnya waktu, entah itu kesibukan luar kampus yang sifatnya edukatif misal organisasi atau dunia hedonis bahkan romantisme. Menyisihkan waktu untuk sekedar meluangkan kerja tugaspun selalu terbengkalai dan keteteran. Beberapa faktor di atas sudah sedikit menggeser sebagian kegiatan kampus yang sebenarnya dinilai prioritas menjadi formalitas. Tidak penting hasil tugas sesuai intruksi dosen, intinya adalah tugas selesai dan bisa disetorkan. Perilaku instan semacam ini bisa menjadi bumerang terhadap karakter dan dunia intelektualnya kedepan.
Etos Kerja Menurun
Budaya instan yang melanda mahasiswa di atas menciptakan proses pudarnya etos kerja dan bekerja keras. Mahasiswa cenderung ingin meraih segala sesuatu dengan serba cepat dan instan. Bahaya efek ini benar-benar akan menjadikan mahasiswa bodoh. Dunia pendidikan yang mengedepankan semangat belajar kini sudah bergeser menjadi pembodohan dengan bungkus 'belajar instan'.
Seperti dilansir oleh laman twitter #PsikologId, disebutkan bahwa internet hanya menyediakan sekitar 30 persen dari total 70 persen keilmuan yang ada di buku-buku perpustakaan. Berdasarkan fakta ini mereka yang memilih jalan pintas lupa bahwa buku-buku dan sumber literasi lain adalah prioritas. Perbedaan paling mencolok antara Google dan buku perpustakaan adalah informasi yang sifatnya lebih komprehensif. Kebanyakan internet mewartakan berita hasil jurnalistik sisanya adalah sebagian kecil yang dikutip dari buku. Sedangkan buku menyediakan berbagai informasi ilmiah yang sifatnya komprehensif dan kredibel.
Banyaknya keunggulan tersebut di atas ironisnya hanya diakui di mulut saja tanpa disertai tindakan langsung. Perpustakaan memang menyediakan beragam informasi pendukung akademis, namun balik lagi pada statemen pergeseran budaya sebelumnya: internet lebih simpel dan mudah kita akses.
Jika budaya instan ini terus berlanjut hingga tahap akhir dunia kampus, kekhawatiran selanjutnya adalah proses pengerjaan skripsi misalnya dengan mudah kelak akan mencomot dari Google. Ini tentu tidak kita inginkan dan sangat memalukan. Pendidikan sebagai proses formation atau memanusiakan manusia yang didengungkan oleh Prof.Dr. Nicolaus Drijarkara, seorang filsuf dan pakar pendidikan Indonesia, secara terang-terangan kita rusak.
Plagiarisme dan Kejahatan Intelektual
Dampak lain dari kebiasaan copy-paste adalah suatu hal yang jarang disadari seperti plagiasi. Plagiat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan (www.kbbi.web.id). Meskipun tanpa niat mengambil alih karya orang lain, namun dengan mencomot mentah-mentah karya tulisan mereka secara tidak langsung kita melakukan kejahatan. Bukan hanya itu, sebenarnya banyak kasus kita temui tidak hanya dari internet, melalui buku dan media cetak lainnya juga banyak. Hanya saja mudahnya akses ke Google menjadikan maraknya budaya ini terus berkembang.
Jika sejak kecil kita diajari untuk menghargai orang lain termasuk apa yang dimilikinya, tidak boleh mencuri, jangan mengakui hak milik orang, selalu berbuat jujur, rajin belajar dan berbagai wejangan filosofis lainnya, sepertinya sudah mulai kehilangan ruhnya. Hanya demi hasil akhir, mahasiswa sudah tidak berpikir panjang sudahkah perilaku mereka benar atau bisa dibenarkan saja? Jangan-jangan Google yang kian hari semakin bertambah penganutnya ini kelak tidak hanya menciptakan generasi bodoh, namun degradasi moral, pergeseran paradigma, pola pikir dan karakter mahasiswa?
Perilaku plagiasi semacam ini mencerminkan bagaimana karakter dan kualitas mahasiswa. Jika sudah membicarakan kualitas, apa yang masih bisa diharapkan dari jebolan kampus seperti itu? Di saat dunia kerja membutuhkan ketangkasan dan otak yang bisa diandalkan, faktanya mahasiswa sudah jauh panggang dari api. Ijazah yang mencantumkan angka-angka absurd, menjadi modal dan pengakuan resmi mesti dipertanyakan kredibilitasnya.
Mengapa hal tak etis yang lumrah semacam ini seperti dibiarkan begitu saja, atau kurang adanya koreksi ketat terhadap kerja tugas mahasiswa agar mereka jera? Ini pertanyaan seharusnya bukan ditujukan bagi segelintir orang, namun semua civitas akademika yang terkait di dalamnya. Tidak mudah memang ketika era gadget saat ini sudah kadung memantrai kita dengan jampi-jampinya. Menanggalkan gadget sudah seperti melanggar aturan ibadah saja.
Kembalikan Google Pada Fitrahnya
Kadang penulis sendiri merasa gerah dengan fenomena di atas. Sebab bukan tanpa alasan, jika semua masalah dianggap sepele maka hanya butuh solusi sepele pula. Apakah sesepele itu kita memandang-menghadapi realitas? Sejauh ini pikiran-pikiran instan sudah meracuni otak dengan sugesti bijaknya bahwa masalah jangan dianggap berat. Pandanglah dari sudut berbeda bisa jadi solusinya juga berbeda. Karena pemikiran seperti ini belum kokoh pasaknya lalu dihantam oleh kemudahan akses informasi internet, jadilah kita sebagai kaum instan bermazhab Google. Apa yang kita butuhkan mesti buka Google terlebuh dahulu. Perlahan-lahan bukan hanya dijadikan bodoh tapi juga budak.
Apakah kita akan membiarkan kondisi seperti ini terus berlanjut hingga anak cucu kita? Jawaban wajibnya tentu kita tidak mau. Meski tidak dapat dipungkiri kelak kecanggihan internet bakal jauh melebihi era sekarang, bukannya tidak mungkin jika mulai saat ini kita sadar akan pemanafaatan internet secara ideal. Sadar akan fungsi internet sebagai akses alternatif, dengan menjadikan internet bukan satu-satunya jalur tempuh. Memulai kembali berpikir jika semua yang memudahkan belum tentu mencerdaskan, dan yang menyulitkan tidak akan membuat kita bodoh. Jika kita masih punya jalur khusus yang lebih baik kenapa mesti pakai jalur pintas?
Tidak ada komentar