Media Untuk Massa atau Media Pribadi Untuk Massa ?
By : Saijuri
Tentu kita semua sebagai pengonsumsi informasi yang datangnya dari berbagai media di Indonesia sudah mengetahui apa saja fungsi dari media, yakni untuk memberikan informasi, menghibur, mendidik bahkan untuk mempengaruhi. Namun bukan untuk berunjuk gigi bukan ?
Seiring pesatnya perkembangan teknologi dan informasi saat ini membuat perkembangan media massa di Indonesia semakin pesat. Menurut Merlyna Lim seorang peneliti asal Indonesia yang menetap di Amerika Serikat sejak 2012, mengatakan bahwa sejak 1988-2012 ada sekitar 1200 media cetak yang bermunculan dan lebih dari 900 radio komersil baru, terutama di daerah Jakarta, serta ada 5 stasiun televisi yang baru.
Siapa pemilik media sebanyak itu?, siapapun orangnya pasti orang yang kuat dan memiliki banyak kepentingan, entah bisnis atau bahkan yang lagi hangat-hangatnya sekarang yaitu politik, jika benarnya seperti itu, kemana arus berita selama ini ?.
Menurut penelitian Lim, media di Indonesia dikuasai oleh 12 group oleh gabungan koglomerat dan 1 milik Negara. Ke-12 grup itu ialah, Media Nusantara Citra (MNC) Group milik Hary Tanoesoedibjo, Mahaka Group milik Erick Tohir, Kelompok Kompas Gramedia milik Jakob Oetama, Jawa Pos Group milik Dahlan Iskan, Media Bali Post Group milik Satria Narada, Elang Mahkota Teknologi (EMTEK) Group milik Eddy Kusnadi Sariaatmadja, Lippo Group milik James T Riady, Bakrie & Brothers milik Anindya Bakrie, Femina Group milik Pia Alisyahbana dan Mirta Kartohadiprodjo, Media Group milik Surya Paloh, Mugi Reka Aditama (MRA) Group milik Dian Muljani Soedarjo, dan Trans Corpora milik Chairul Tanjung.
Setelah membaca uraian di atas apa yang kita dapat tanggapi berkenaan dengan media massa yang dominan pemiliknya adalah elit politik. Kekuasaan media dalam menentukan agenda masyarakat bergantung pada hubungan mereka dengan pusat kekuasaan. (Littlejohn, 2009 : 418). Kekuasaan inilah yang membuat para pemilik media lebih menunjukan citra diri pemiliknya.
Saat ini media massa adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari kita, informasi sudah menjadi bagian dari kebutuhan primer kita.
Berdasarkan survei oleh Olken lebih dari 600 desa di Jawa Timur dan Jawa Tengah serta membandingkan antara desa yang bisa menjangkau sedikit dengan desa yang bisa menerima bnayak saluran televisi.
Berarti jelas bahwa Media yang banyak di konsumsi dan berpengaruh besar terhadap masyarakat sehingga dapat mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap apa yang disuguhkan ialah media televisi.
Televisi di era reformasi saat ini tidak hanya berfungsi sebagai media penyampai pesan saja, tetapi juga berfungsi sebagai penarik minat massa untuk meraup dukungan dalam segala hal. Sebagai media komunikasi massa yang penuh dengan tayangan-tayangan audio visual, bukan tidak mungkin televisi menjadi pusat perhatian. Mengapa orang memperhatikan media massa? Satu kemungkinan jawabannya ialah karena mereka berusaha menambah khazanah pengetahuan (informasi) dan atau memperoleh bimbingan (opini). (Nimmo, 2000 : 172).
Karena informasi telah menjadi kebutuhan kita, maka media massa semakin bebas dalam memberikan informasi, termasuk berkampanye secara tidak langsung bahkan secara terang-terangan dan terus menerus. Pada 2014 lalu Tv One sibuk menayangkan pencitraan positif terhadap Capres Prabowo dan menayangkan kelemahan-kelemahan Capres Jokowi. Metro Tv begitu juga sebaliknya selalu menayangkan sisi positif dari Capres Jokowi dan menayangkan kelemahan dari pasangan Capres Prabowo.
Masyarakat dikepung dan disuguhkan tayangan iklan parpol yang setiap saat muncul dilayar televisi. Siapa yang tidak tau dengan Hary Tanoesoedibyo, pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Group (RCTI, MNC, Global TV) yang menjadi perbincangan hangat baik formal di beberapa media maupun hanya rumpi di warung kopi saja karena telah mengepung masyarakat Indonesia dengan iklan Partai Perindo dengan Mars Perindonya. Ironisnya hampir semua anak-anak kecil mulai hafal bahkan berusaha menghafal Mars Perindo tersebut.
Sungguh miris sekali media massa saat ini. Undang-Undang Penyiaran No. 32 Tahun 2002 menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU Penyiaran telah memberikan kewenanagan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga yang independen untuk mewakili publik dalam mengurus penyiaran. Dapat disimpulkan bahwa publik berhak menggunakan, menikmati dan mendapatkan manfaat dari frekuensi, baik yang dikelola oleh komunitas maupun perusahaan yang komersial.
Dan berdasarkan UU Penyiaran No. 4 Tahun 2002 mengatakan bahwa Penyiaran televisi adalah media komunikasi massa dengar pandang, yang menyalurkan gagasan dan informasi dalam bentuk suara dan gambar secara umum, baik terbuka maupun tertutup, berupa program yang teratur dan berkesinambungan.
Terlihat jelas bahwa siaran yang dipertontonkan kepada masyarakat haruslah berupa program yang teratur dan harus berkesinambungan, tidak memprioritaskan kepentingan pribadi.
Kepentingan pribadi menjadi prioritas pemilik media saat ini, media massa telah beranjak berubah menjadi media pribadi untuk massa. Adanya Fenomena seperti ini, dapat disimpulkan bahwasannya media massa telah mengalami perubahan fungsi. Media saat ini tidak hanya sebagai penyampai informasi pada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai alat untuk meraih keuntungan berupa kekuasaan di masyarakat. Maka daripada itu masyarakat harus mampu bersikap lebih cerdas lagi dalam mengkonsumsi media agar terhindar dari konstruksi sosial media massa yang berupa tayangan-tayangan yang berbau kampanye. Tujuannya agar masyarakat tetap merasa aman dan nyaman dalam bermedia.
Tidak ada komentar