Bedah Stigma Etnis di Kota Malang, Ngobar 22 Gelar Diskusi
Suasana berlangsungnya diskusi, Sabtu (22/2/2020). (foto: Hanif/LPM Papyrus) |
Papyrus - Komunitas Ngopi Bareng (Ngobar) 22 mengadakan diskusi hangat bertemakan "Perspektif Akademisi Terhadap Stigma Etnis di Kota Pendidikan". Kegiatan tersebut berlangsung di Warung Mblo tepatnya di Jl. Kecubung Barat, Ruko Warna Warni Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Sabtu (22/20).
Diskusi tesebut turut dihadiri oleh tiga pemateri diantaranya Dr. Antoni, Sos., M.si, selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya (UB), Muhammad Hayat MA, yang merupakan Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan Akhirul Aminulloh, Sos., M.si Dosen Ilmu Komunikasi Uiversitas Tribhuwana Tunggadewi (Unitri) Malang.
Acara tersebut juga diikuti oleh puluhan mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di Kota Malang.
Ketua pelaksana Posko Menangkan Pancasila Febrian mengatakan, bahwa diskusi tersebut diadakan karena atas dasar rasa gejolak yang dirasa pihaknya, terlebih khusus mahasiswa pendatang dengan warga Malang terkait persoalan adat atau kebiasaan yang tidak sinkron dengan budaya lokal sendiri.
"Memang pernah terjadi sebagian mahasiswa bentrok dengan warga Malang, karena dalih perbedaan sikap perilaku yang dibawa dari daerah masing-masing sehingga menimbulkan stigma negatif dari masyarakat Malang terhadap mahasiswa luar," ujarnya.
Lebih lanjut, Febrian menambahkan bahwa acara tersebut selain bertujuan untuk mengkaji stigma etnis di Kota Malang, Ngobar 22 juga bermaksud untuk memberikan satu pemahaman pentingnya menghargai dan berkolaborasi antara mahasiswa lokal dan luar, agar terjalin kekeluargaan yang utuh tanpa ada stigma negatif tentang etnis.
"Kami anggap semua pukul rata, sama ratakan antara orang yang berkulit putih dan hitam, supaya tidak ada perbedaan yang mengarah pada stigma negatif, kami sangat tidak mau itu bisa terjadi di Kota Malang, kota yang kita kenal sebagai kota pendidikan," imbuh Febrian.
Hal serupa juga diungkapkan oleh salah satu peserta yang sering disapa Pekkeng. Ia mengatakan diskusi seperti ini sangat efektif jika berkelanjutan, sehingga pemahaman-pemahaman yang sempit terhadap kebudayaan mereka bisa teruraikan dan dipahami bersama sehingga tidak menimbulkan stigma baru di mata Masyarakat.
"Sebenarnya kekacauan perspektif yang keliru di benak masyarakat karena di antaranya tidak ada pemahaman terhadap budaya-budaya mereka khususnya luar jawa. Dan mahasiswa yang masuk ke Jawa tidak bisa merealisasikan budaya yang ada sehingga dampaknya saling tidak menerima, yang lebih parah sampai ada tulisan tidak menerima kos orang timur, menerima kos muslim," ujarnya.
Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UB, Dr. Antoni, Sos., M.si, juga angkat bicara terkait stigma yang ada. Menurutnya pesoalan stigma yang terjadi perlu diperbincangkan bersama.
"Malang menjadi pusat perhatian pendidikan sangat tidak etis dan mengagetkan kenapa gejala ini terjadi, maka perlunya pengarahan-pengarahan dan refleksi kita bersama," ungkapnya.
Antoni juga berpesan kepada seluruh mahasiswa, khususnya mahasiswa dari luar Jawa agar kita menjadi orang yang empati.
"Kita harus berangkat dari akunya. Bukan dari kalian lalu aku, agar kita bisa memahami cara pikir pihak lain dan cara pandang budaya sehingga kita bisa empati. Karena empati ini menerima dulu, bukan curiga dulu dan ini menjadi langkah awal untuk memahami budaya yang ada di kota Malang ini," imbuhnya. (hanif)
Tidak ada komentar