Pada Pagi Kelabu Itu, Mata Mereka Bagai Petir
Ino Sengkoen (dokumen pribadi) |
Tangisnya meledak menyambar. Butir-butir air mata luruh begitu saja, membasahi pipi Tante Agnes. Sedang suaminya hanya tertunduk. Kedua tangannya meraba seperti hendak menyembunyikan kepalanya. Ia berusaha meredam tangisan sekuat tenaga. Tubuhnya yang bergetar-getar. Rahang dan lehernya menegang.
“Eeee kasihan,” aku menimpali. “Sudah, sudah... Tenang, pasti ada jalan keluar. Om Niko dan tanta kasi kuat hati saja dulu. Nanti kita cari jalan.” Aku ikut merasakan sakitnya hati mereka.
Naluri keperempuananku tersentuh. Bukan hanya itu, naluri keibuanku juga, walau sekarang aku tak punya anak lagi. Anak semata wayangku meninggal beberapa tahun lalu. Penyebab kematiannya memang menyakitkan.
Namun aku telah mampu menerima semua itu sebagai rencana Tuhan. ia mati, karena tak tahan lapar dan kurang gizi. Dia mati, karena Tuhan ingin merawatnya di surga.
Om Niko kehilangan pekerjaannya di Atambua beberapa bulan lalu. Dia dipecat secara licik. Dia telah membongkar rahasia korupsi kepala kantornya. Seorang pegawai honor seperti dia tentu sangat mudah disepak jika berani membusungkan dada dan sesumbar menjadi pembela kebenaran.
Di hadapan penguasa, kebenaran selalu lemah. Om Miro tidak saja dipecat. Suatu malam, tiba-tiba rumah terbakar tanpa diketahui penyebabnya. Barangkali bukan terbakar, tetapi rumah itu sengaja dibakar oleh orang tak dikenal.
Olah tempat kejadian perkara memperkuat dugaan itu, walau tanpa penyelesaian yang tuntas. Kasus orang kecil jarang dituntaskan secara serius.
“Iya tanta, terima kasih, terima kasih,” Om Niko angkat bicara juga. “Aduh Tuhan ini Dia punya mau apa? Kita baru lepas dari satu masalah, masalah baru langsung datang lagi.” Suaranya menebal. Dia masih berusaha menahan tangisannya supaya tak tumpah terlalu banyak lagi. Pelupuk matanya mengembung.
“Tanta Sinta tahu sendiri, bagaimana kita punya susah selama ini. Kita sudah pinjam orang punya uang dan tanah, terus berusaha kerja kebun dari nol sampai sekarang. Giliran mau panen, orang curi kasi habis. Kita mau apa? Kurang ajar betul!”
Dan Tante Agnes menyambung lagi, di sela-sela tangisannya. Suaranya terbata-bata dalam nafasnya yang tersendat-sendat. Sebagai ibu rumah tangga tentu kejadian ini menjadi tamparan berat atasnya. Bukan hanya tamparan, ini kutukan! Namun kutukan karena apa? Kutukan dari siapa?
Sebuah pergulatan berat bagi pasangan muda ini. Bagaimana makan minum mereka? Bagaimana hidup dapat mereka nikmati di atas puing-puing derita sepanjang tapak mereka? Apa artinya hidup bila kehidupan seolah tak pernah memberi mereka sedikit kesempatan untuk tertawa lepas?
Aku membayangkan mereka berdua seperti sepasang pengantin baru yang saling menggenggam tangan, melangkah menuju kematian. Pantas saja Tante Agnes bahkan sampai mempertanyakan keberadaan dan kebaikan Tuhan!
Tuhan yang adil mestinya tergerak hati ketika melihat rentetan kesulitan hidup kejam menerjang manusia. Maka dalam hati kecilku, aku ikut berdoa untuk sang pencuri itu, sebuah doa memaksa keadilan ditegakkan langit, semoga penjahat itu dihukum dengan kemalangan yang setimpal.
“Sudah, mari kita ke rumah saja.” Tak tahu harus berkata apa, aku mengajak mereka ke rumahku. Kebetulan tadi aku telah menanak nasi cukup banyak. Beberapa butir telur ayam masih ada dalam kulkas. Aku bisa menyiapkan sarapan untuk kami berempat.
Maka sambil merangkul tantan Agnes, aku membawa mereka pindah ke rumah kami. Mereka mengikutiku dengan langkah yang lunglai, seakan tak sedang menginjak
tanah.
“Bapak, bapak, bangun! Bangun! Om Niko dan Tanta Agnes ada di depan. Mereka punya jagung, kacang, dan ubi di kebun orang curi kasi habis. Bangun, temani mereka dulu. Saya mau siap makan pagi.”Kugoyang-goyang tubuh suamiku dengan lembut.
“Agghh...” Merasa tidurnya terganggu, suamiku mengeluarkan nada protes yang kesal. Memang tidak biasa dia bangun sepagi ini.
Ia biasa pergi dari rumah ketika burung-burung malam mulai melengkingkan suara dan baru akan pulang bersama kokokkan ayam. Maka pagi-pagi begini tentu ia masih mengorok.
Aku tak peduli. Ah bukan, aku percaya pada suamiku,sekalipun lebih banyak hal dalam hidup kami selama ini tidak sebenderang yang lasim dialami keluarga-keluarga lain. Toh semua keluarga punya masalahnya sendiri. Lagipula bagaimana mungkin bisa berhasil membangun rumah tangga tanpa saling percaya?
Setelah menatap wajahku dengan tatapan yang sangar, dia bangkit dari tempat tidurnya, menuju kamar mandi dan membasuh wajahnya. Setelah itu dia ambil rokoknya lalu mulai menyulut dan mengisapnya, sambil berjalan menuju ruang depan. Asap tebal membututinya. Aku tak mendengar lagi apa yang mereka perkacapkan sebab minyak yang melonjak-lonjak di atas tacu panas mengurung pendengaranku.
“Ayo. Mari kita ke belakang. Kita makan. Mari Om Niko, mari tanta.” Aku mencoba menyemangati kembali suasana setelah kelar pekerjaanku menyiapkan sarapan untuk kami berempat.
Kupandangi wajah Om Niko dan Tanta Agnes dengan selukis senyum. Tak sulit bagiku untuk membaca rasa haru dan syukur di mata mereka. Barangkali mereka berpikir, dalam keterpurukan yang menimpa mereka ternyata masih ada kami yang memperhatikan.
Sepanjang sarapan itu aku berusaha menghilangkan rasa canggung yang juga masih jelas terbaca dari gestur Om Niko dan Tante Agnes. Aku bercerita tentang kejadian-kejadian lucu. Sesekali aku mengelus dan meramas tangan Tante Agnes sambil menampakkan semangat di wajahku.
Sehabis sarapan, Om Niko dan Tante Angnes minta pamit untuk kembali ke rumah mereka. Sekantung beras dan beberapa ikat sayur kangkung dari kulkas kubingkiskan sebagai oleh-oleh untuk makan siang mereka.
Suamiku hanya bicara sesekali saja, meminta mereka untuk menerima keadaan ini dengan sabar. Ia memang tak suka banyak bicara, apalagi nasehat-nasehat bijak. Itu omong kosong belaka; tipuan untuk orang-orang lemah; candu bagi orang-orang kalah; pemborosan tenaga dan kata-kata. Bagi dia, satu-satunya kata dan hal yang penting adalah kerja!
“Kasihan mereka e, bapak. Hidup susah begitu...”
“Agghh sudah, sudah. Saya bosan dengar keluhan. Mengeluh terus, mengeluh terus.” Suamiku berjalan lewat depanku. Wajahnya ketus. Barangkali dia masih marah lantaran tidurnya terganggu.
Ia berjalan menuju kamar tidur. Namun sebelum masuk ke kamar itu, ia berhenti dan memalingkan kepalanya ke arahku.
“Sebentar siang masak itu jagung muda yang ada di gudang. Campur dengan kacang juga.” Aku menarik nafas dalam-dalam. Mencoba memahami dan menerima keadaannya. Ini komitmenku untuk mencintainya.
Setelah mengangguk mengiyakan kata-katanya tadi, aku bergegas ke kamar mandi. Aku harus bersegera mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Telah banyak waktuku pagi ini yang kuhabiskan sekedar untuk menunjukkan empati pada tetangga kami yang sedang ditimpa musibah.
Aku hampir terlambat dan jarak ke sekolahku cukup jauh. Anak-anak di sekolah luar biasa itu pasti sudah menantiku.
Namun sebelum kembali ke kamar untuk menukar pakaian, aku menyempatkan diri sebentar untuk menyingahi gudang. Gudang itu terletak di sudut kiri belakang rumah kami, beberapa langkah saja dari pintu kamar mandi. Biasanya hasil kerja suamiku semalam dia simpan di sana.
Aku ingin memastikan, jagung dan kacang yang ada tadi dikatakannya ada di gudang memang masih layak untuk dimasak dan dimakan.
“Tuhan...!” Apa yang kulihat di sana sungguh mengejutkan. Kulit wajahku menegang kaku. Aku bagai disambar petir. Desahan panjang keluar dari hatiku. Dengan gesit aku masuk ke kamar kami, menuju suamiku.
“Bapak, bapak... Bangun, cepat bangun...”
“Agghh bangsat! Kenapa? Siapa yang mau perkosa kau, perempuan tua?”
“Itu jagung muda, kacang deng ubi itu bapak dapat dari mana? Panen dari kebun yang mana? Kita ada kebun di mana? Jawab!” Ia tak menjawab. Kepalanya ia sembunyikan lagi di balik selimut.
Kami tak pernah punya kebun. Teman-teman, keluarga ataupun tetangga kami di sekitar kampung Batu Merah sini pun tidak. Lagipula, tahun ini hampir seluruh petani gagal panen karena hujan tak menentu, kecuali mereka yang rajin menyiram tanamannya secara teratur. Itu pun hanya Om Niko dan Tante Agnes.
Ahhhh....Aku mengguncang tubuh suamiku lagi dan mencoba membangunkannya.
“Agghhh perempuan kurang ajar!”
Sebuah tamparan keras ikut melayang bersama kalimatnya. Lagi-lagi aku kaget. Wajahku memerah. Pipi kiriku terasa perih sekali, bagai ditikam jarum. Air mataku langsung tumpah. Ada darah di bibirku.
“Hey, kau punya tugas untuk masak, bukan tanya! Mau dari mana kau tidak perlu tahu. Atau kalau kau tahu juga kau mau buat apa?”
“Saya tidak mau makan makanan yang tidak jelas datang dari mana!”
“Hahahaha... Hahahaha hei perempuan, kau punya gaji berapa? Supaya kau tahu, itu isi dalam kau punya perut, dengan daging-daging di kau punya badan itu memang dari makanan haram!”
“Apa? Jadi, sebenarnya bapak in...”
“Saya curi! Itu yang di gudang saya curi tadi malam dari Om Niko punya kebun. Kenapa? Kau mau apa? Mau lapor, hah? Kau lapor sudah!”
Darahku seakan berhenti mengalir. Jantungku tak berdetak untuk beberapa ketukan. Ini neraka! Aku menangis.
“Kita hidup sama-sama susah. Sekarang siapa yang cerdik dia yang menang. Tidak ada kasihan-kasihan kalau mau hidup. Kau tidak lihat itu orang besar mereka curi, makan kasi habis kita punya uang, terus kasi tinggal kita tahi! Kau bisa hidup dengan makan tahi?!”
Aku terus menangis. Suara mengerang yang kian keras ikut keluar bersama air mataku yang kian deras pula. Aku tak peduli jika saja ada yang mendengar suara tangisanku. Sedangkan suamiku, seolah telah menampung refleksinya dalam sebuah bendungan karet yang besar, kini ia mendapatkan kesempatan untuk menumpahkan tetek bengeknya.
Suaranya begitu keras, kata-katanya tajam dan gelagatnya beringas. Tinggal aku yang merasa begitu asing dari hidup. Aku telah mencintai seorang pencuri!
“Kau ingat kita punya anak Rinto dulu mati karena kelaparan. Itu saya punya kesalahan paling besar dalam hidup! Saya tidak akan bisa kasi maaf saya punya diri! Kau ingat toh, waktu itu tidak ada satu orang pun yang mau peduli dengan kita. Semua orang sibuk dengan mereka punya hidup.”
“Kenapa bawa-bawa saya punya anak? Itu memang kita punya kesalahan. Itu Tuhan punya renca...”
"Berhenti sebut Tuhan! Omong kosong! Dia ada di mana waktu kita menderita? Kau bilang itu Tuhan punya rencana? Hahahaha Tuhan jahat begitu kah?”
“Bapak!”
“Apa? Saya salah? Salah apa?”
Aku tak mampu menjawabnya lagi. Aku hanya menangis, merintih perih. Ini sungguh neraka. Aku mencoba menarik nafas dalam-dalam, walau masih patah-patah. Ada sakit yang menendang-nendang dadaku.
Sementara suamiku, menyulut rokoknya dan mengepulkan asap tebal di kamar kami. Dia tertunduk, entah memikirkan apa. Hanya dengusan nafasnya yang terdengar, bersama asap rokok yang terus membumbung.
Aku mencoba membuang pandangan keluar dari jendela kamar, sekedar mengalihkan perhatian dan berharap sedikit rasa sakit ini berkurang. Namun apa yang ada di depan mataku sungguh menyakitkan.
Di sana, sekitar empat meter dari jendela kamar kami, Om Niko dan Tante Agnes berdiri terpaku! Mereka saling rangkul, menonton ketelanjangan kami dan menangis tanpa suara.
Badan mereka bergetar. Mata mereka bagai petir. (Ino Sengkoen)
Kupang, 2010.
Tidak ada komentar