Hari Buku: ‘’Bacot” di Media Sosial dan Usaha Tingkatkan Literasi Membaca
Selamat Hari Buku Nasional |
Kegiatan membaca buku menemui pendapat yang berbeda-beda di Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa kegiatan membaca buku sudah ketinggalan zaman, bahwa masyarakat butuh sesuatu yang segar seperti saluran audio visual untuk memuaskan semua indera.
Pendapat demikian tentu saja melukai hati segelintir pembaca buku yang melihat kegiatan menyelesaikan satu lompatan kisah kepada pengetahuan lain dengan membaca sebagai sebuah kegiatan yang ‘sexy’.
Ada banyak manfaat dari membaca seperti merangsang otak untuk berpikir sehingga tidak gampang untuk pikun, mengembangkan kemampuan analisa, meningkatkan konsentrasi, atau mengalihkan otak dan hati dari kegalauan untuk fokus pada kisah-kisah seru tokoh dalam buku.
Dengan membaca kita memberi diri peluang untuk berpetualang pada sesuatu yang sebelumnya tidak kita alami. Sehingga dalam sekali menutup lembar buku fiksi terakhir misalnya, kita di bawa pada perasaan bahwa dunia ini penuh manusia dengan segala persoalannya.
Kita bisa mulai bersyukur, tidak terus menerus mengutuk diri sebagai orang yang paling menderita dan meningkatkan empati agar turut merasakan penderitaan orang-orang di sekitar kita. Sehingga kita tidak lagi menempatkan diri sebagai inti dunia, namun melihat kepentingan bersama di atas segalanya.
Membaca buku ilmiah juga mampu membuat analisis lebih tajam, kepekaan meningkat dan bisa lebih rasional. Apalagi jika Anda adalah penulis, membaca sama pentingnya dengan Anda menuturkan ‘cerita’ ke dalam bentuk huruf. Ada banyak hal yang harus dipelajari dan dibiasakan agar tulisan bisa reflektif, kritis dan bertutur atau sesuai kebutuhan penulisan.
Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri fakta yang tidak lagi mengejutkan bahwa Indonesia menurut World’s Most Literate Nations Ranked yang diakses penulis pada Mei 2020, Indonesia masih dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).
Padahal, dari segi penilaian perpustakaan untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada dalam rata-rata dunia. Hal ini menunjukkan kesadaran adalah hal paling utama lebih dari sekadar infrastruktur untuk membangun satu kesatuan manusia Indonesia yang rajin memupuk literasi.
Bahkan kedatangan Najwa Shihab ke Kupang dalam rangka menggelar "Temu Literasi" yang digagas oleh Lembaga Garda Lamaholot bekerja sama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan pada tahun 2017, memaparkan bahwa jumlah peminat baca di Indonesia setiap tahun hanya mencapai 0,01 persen.
Artinya, kurang lebih setiap orang di Indonesia hanya membaca 1 buku per tahun dan belum tentu membaca buku yang berkualitas.
Menyusul, survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2018 menempatkan Indonesia dalam Pertumbuhan pengguna smartphone yang lumayan tinggi. Untuk pemakai muda (18-34 tahun) kepemilikan smartphone meningkat dari 39 persen menjadi 66 persen dari 2015-2018.
Sedangkan untuk pengguna HP berusia di atas 50 tahun, pemakai smartphone juga naik dari 2 persen pada 2015 menjadi 13 persen pada 2018.
Buku manual atau E-book sama-sama kurang menggiurkan di mata masyarakat Indonesia. Kesenangan itu sudah berganti rupa. Saat ini, manusia Indonesia lebih suka sesuatu yang 'instant', misalnya di dunia maya tulisan berbobot dan mendalam, ditutup dengan jutaan artikel yang tersaji secara singkat, tidak padat, dan tidak jelas.
Kemudian menjadi semacam candu sebagai satu-satunya rujukan atau referensi dalam memandang sesuatu. Apalagi jika media pintar memancing dengan klick bait, maka habislah sudah. Sesuatu yang instant tersebut menggerogoti kewarasan penikmat bacaan "fana" tersebut.
Postingan yang di share akhrinya menimbulkan banyak pertanyaan, ketakutan, mengambang dan berujung pada kebingungan massal dan diterima sebagai sebuah kebenaran.
Apalagi kemudahan teknologi membuat siapa saja bisa menjadi wartawan hari ini. Artikel kesehatan ditulis oleh ahli mesin atau pembahasan tentang budaya bisa saja menjadi milik orang yang tidak pernah keluar rumah.
Kebenaran sudah tidak ada lagi harga dirinya jika pembaca tidak kritis, tidak menaruh curiga terhadap apa yang dibacanya dan menerima mentah-mentah apa yang seharusnya tidak dia telan.
Krisis literasi membaca buku dan literasi digital seperti membawa manusia Indonesia berlayar tanpa pegangan, terseret tanpa pedoman. Kita wajib menggugat kebiasaan yang kita puja-puja di zaman modern ini.
Merasa bangga jika tulisan di share dan diberi jempol karena umpatan dan hinaan demi kepuasan ego, atau diantara kerumunan kita ikut menghakimi orang lain tanpa merenungkannya terlebih dahulu. Hanya karena mau ikut-ikutan menyerukan suara mayoritas, lalu melupakan kualitas.
Kita, jangan sampai hilang arti di antara peradaban yang membutuhkan manusia-manusia kritis di hari-hari ini.
Penulis tentu memberikan apresiasi setinggi-tingginya terhadap pegiat literasi yang juga terus bertumbuh. Meski merangkak, suatu kebiasaan bisa menjadi virus bagi lingkungan sekitar.
Substansi untuk mencari dan memahami pengetahuan, mendalami berbagai sumber informasi, menemukan pengalaman yang dapat dimanfaatkan untuk menemukan karakteristik keadaan manusia lain dan alam semesta, kiranya menjadi satu misi yang sama untuk diperjuangkan di Indonesia.
Agar virus kritis tersebut masuk ke dalam setiap sisi kehidupan manusia. Sebut saja jumlah Komunitas literasi non-negara seperti dilansir dari rumahbacakomunitas.org saat ini mencapai 18% dari total jumlah perpustakaan di Indonesia. Jumlah perpustakaan di republik ini adalah kedua terbesar di dunia setelah India.
Perpustakaan khusus diartikan sebagai kelompok penyedia akses bahan bacaan yang dikelola secara independen, mandiri, dan sukarela.
Setahun terakhir, kementerian desa juga mengklaim telah membina atau mendanai sebanyak 791 perpustakaan di desa dengan dana desa sebanyak 22,84 Miliyar pada tahun 2018. Klaim kementerian Desa, pada tahun 2018 desa yang memiliki taman bacaan meningkat 4.773 desa (60%) dibandingkan tahun 2014 (sumber Potensi Desa 2014, 2018 dalam rumahbacakomunitas.org).
Sebagai tambahan, dalam catatan kemendikbud ada sebanyak 11.437 komunitas literasi dengan jumlah keterlibatan sebanyak 543. 736 orang di seluruh Indonesia.
Komunitas-komunitas ini tentu memberi harapan yang nyata terhadap perubahan. Tinggal bagaimana kita meningkatkan gerakan literasi mulai dari rumah, sekolah dan masyarakat. Sembari menunggu semua itu, mari kita menanamkan kesadaran dalam hati bahwa perubahan sekecil apapun itu bisa dimulai dari dalam diri sendiri.
Memutuskan untuk tidak hanya menjadi penonton tetapi menjadi pelaku adalah tindakan bijak yang bisa membawa perubahan lebih besar dan lebih cepat.
Selamat hari buku nasional!
Semoga kita bisa membaca diri sendiri lebih banyak saat pandemi covid-19 dan bisa berkencan dengan banyak buku kemudian menjadi terbiasa dan jatuh cinta tidak terputus hingga badai abad 21 ini berlalu. Kita mulai dari rumah, membagikan energi yang sama dan keluar lebih dari sekedar pemenang! (Tini)
Tidak ada komentar