Polemik Negara Akibat Pandemi Covid-19
Yuliana Sukacita Elom (gambar: dokumen pribadi) |
Papyrus - Negara diibaratkan sebuah rumah. Sebelum rumah itu dibangun hal pertama kali yang di persiapkan adalah materilnya.
Apa saja materilnya? yaitu mulai dari semen, pasir, seng dan kayu. Bagaimana agar rumah itu bisa berdiri kokoh?
maka yang diperlukan adalah campuran fondasi yang sangat kuat agar rumah itu tidak mudah runtuh.
Begitu pula dengan Negara. Agar terbentuk menjadi sebuah Negara,maka perlu ada beberapa aspek yaitu wilayah, penduduk/masyarakat, dan kedaulatan.
Negara yang kuat memerlukan fondasi yang kuat pula. Apa fondasi tersebut? Yaitu undang-undang yang dibuat untuk mengikat seluruh aspek-aspek Negara agar tidak terpisahkan.
Namun, bagaimana jadinya apabila fondasi itu justru di buat secara porak-poranda tanpa dibuat dalam campuran yang pas dan justru banyak melibatkan kepentingan pribadi dan politik?
Seperti halnya pada polemik pandemik covid-19 ini. Semenjak tanggal 1 maret 2020 diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia telah terjangkit virus covid-19.
Dilanjutkan dengan penyampaian Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, jika ada 2 orang Warga Negara Indonesia dinyatakan positif Covid-19.
Melihat hal itu Pemerintah kemudian mengeluarkan beberapa peraturan seperti : lock down (selama 14 hari seluruh aktivitas masyarakat di hentikan secara sementara dan dihimbau untuk tetap di rumah).
Lalu melakukan quaratine (membatasi kontak dengan orang yang terpapar covid-19), menggunakan masker mulut, sosial distancing (pembatasan sosial).
Serta work from home (bekerja dari rumah), dan isolasi mandiri ( mengisolasi diri dari banyak orang apabila pernah ketempat daerah zona merah covid-19 dan bersentuhan dengan orang terpapar covid-19).
Setelah masyarakat Indonesia menerapkan keenam kebijakan dari pemerintah tetap saja kasus penyebaran covid-19 ini terus meningkat setiap harinya bahkan penyebarannya mulai tersebar hampir di seluruh 34 provinsi.
Dibalik kebijakan-kebijakan dari pemerintah ini justru memberikan banyak dampak bagi masyarakat dan beberapa sektor perusahan seperti Sektor Pariwisata, Manufaktur dan UMKM.
Sehingga menyebabkan banyak terjadi jumlah PHK (pemutusan hubungan kerja) secara besar-besaran. Sasaran utama dari kasus ini adalah masyarakat rantauan yang bekerja di kota. Aktivitas masyarakat mulai di batasi.
Hal ini tentunya sangat merugikan sebagian masyarakat kecil khususnya yang tidak memiliki pendapatan yang tetap.
Dengan himbauan pemerintah untuk tetap di rumah tentunya sangat berdampak pada sisi finansial dan pemasukan mulai berkurang dari sebelumnya.
Di samping itu, banyak masyarakat rantauan yang terpaksa harus pulang kampung karena tidak memiliki penghasilan untuk membiayai hidup di kota.
Akibatnya, banyak masyarakat yang melakukan mudik secara besar-besaran dari kota ke setiap daerahnya masing-masing.
Menurut mereka “lebih baik makan ubi di kampung daripada kelaparan hidup di kota karena tidak punya pemasukan”.
Fenomena ini tentu menimbulkan masalah baru bagi Pemerintah. Selain itu tingkat kerawanan penyebaran covid-19 akan sangat berpotensi menyebar karena otomatis banyak masyarakat yang berkerumunan.
Melihat hal ini, kemudian Presiden Joko Widodo mengeluarkan PP (peraturan pemerintah) yaitu program PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang di atur dalam peraturan pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang di sahkan oleh Presiden Joko Widodo pada Selasa, 31 maret 2020 dan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020.
Dalam program ini pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan arus mudik dengan melarang operasi transportasi mulai dari kendaraan darat,laut, hingga udara.
Segala aktivitas sekolah, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial dan budaya di batasi. Program ini bertujuan untuk mengurangi tingkat arus mudik dan tinggat kerawan kerumunan masyararakat.
Tetapi di sisi lain program ini justru menimbulkan beberapa kritikan dari masyarakat hal ini karena program ini di anggap program yang mengandung makna hiperbola (berlebihan) karena tidak semua daerah yang betul-betul menjalankan program ini.
Bahkan fenomena kerumunan masih terlihat di beberapa daerah layaknya aktivitas biasa. Pemerintah di anggap kurang tegas dalam mempelopori progam ini.
Seperti yang dilansir dari Kompas.com ada 18 daerah saja yang mengajukan serta menjalankan program ini seperti DKI Jakarta, Sumatera Barat Kabupaten/kota, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kota Pekanbaru, Kota Makassar, Kota Tegal, Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Cimahi, Surabaya dan Malang.
Dari 34 provinsi hanya beberapa daerah saja yang benar-benar menjalankan program PSBB ini. Selain itu mulai muncul beberapa polemik lainnya menganggap bahwa jangan sampai covid-19 ini hanya sekadar konspirasi untuk memanipulasi masyarakat atau sebagai batu loncatan untuk relaksasi bagi kelompok-kelompok yang berkepentingan.
Dilihat dari sisi sosial, banyaknya kesenjangan sosial terjadi dimana-dimana salah satu contoh, kasus yang terjadi di flores NTT.
Dikutip dari media instagram Labuanbajo-info yaitu intervensi yang terjadi antara Kabupaten Manggarai dengan Kabupaten Manggarai Barat mengenai surat yang di sampaikan oleh Bupati Kabupaten Manggarai kepada Bupati Kabupaten Manggarai Barat.
Dalam surat tersebut, dinyatakan tidak menerima rujukan pasien dari Kabupaten Manggarai Barat demi menghindari penularan covid-19 di daerah Kabupaten Manggarai.
Selain itu juga penempatan Posko oleh pemerintah daerah Kabupaten Manggarai di daerah Pang Lembor yang merupakan masih bagian dari daerah Kabupaten Manggarai Barat sehingga memicu perdebatan antara warga setempat dengan petugas Posko Kabupaten Manggarai.
Seharusnya, dalam situasi genting saat ini harus ada kerja antara daerah. Justru yang terjadi malah sebaliknya. Ingin melindungi daerah sendiri sehingga nilai toleransi dan relasi antar daerah mulai berkurang kesenjangan sosial mulai terjadi dimana-mana.
Bukan hanya disisi sosial saja, dari segi ekonomi juga memiliki dampak yang sangat besar akibat dari covid-19 ini. Banyak masyarakat yang terpaksa harus kehilangan pekerjaan karena banyak perusahan dan tempat kerja yang di tutup.
Fenomena dari covid-19 ini seakan menantang Negara ini untuk berperang melawan beberapa persoalan publik.
Negara yang seharusnya meningkatkan ekonomi masyarakat justru menjadi sebuah tamparan keras bagi Repoblik ini yang harus melangkah Revolusi.
Proker (program kerja) Pemerintah mulai di porak- porandakan. Seharusnya secara programir justru menjadi amburadul akibat dari munculnya virus covid-19 ini.
Sebagai masyarakat bagaimana kita harus bersikap? Apakah kita harus menilai bahwa covid-19 sebagai relaksasi dan sebuah konspirasi saja?
Atau kita hanya pandai menyalahkan pemerintah karena dianggap kurang cerdas. Sehingga membuat kita lengah dan bersikap masa bodoh terhadap kebijakan Pemerintah.
Atau bersikap peduli pada kesehatan dan tetap patuh pada kebijakan-kebijakan dari pemerintah? Namun kita harus kembali merefleksi diri bahwa kita boleh saja
mengeluarkan aspirasi-aspirasi kita.
Akan tetapi, jangan sampai kita terkecoh hingga lupa bahwa virus ini sangat berbahaya sehingga Negara kembali menghadapi persoalan yang lebih sulit lagi.
Mari kita sebagai masyarakat yang bijak untuk bekerja sama dan tetap mengikuti protokol-protokol dari pemerintah untuk tetap stay at home, menjaga kesehatan dan imun kita ,tetap menggunakan masker ketika keluar rumah, rajin mencuci tangan, serta menggunakan anti septik agar Negara kita bisa lekas sembuh dari virus corona atau covid-19 ini. (Yuliana Sukacita Elom)
*Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Komunikasi Unitri semester 2.
It good baby
BalasHapusTerimakasih kaka, mantap...dukung terus kami berkarya
HapusMantap sayang.
BalasHapusTerus berkarya
😊
Terimakasih kakak, terimakasih dukungannya kaka, pelukpelukpeluk
HapusMantap sayang.
BalasHapusTerus berkarya
😊
Maju terus anak jangan
BalasHapuskasih kendor. Indonesia
butuh anak mudah yang
berprestasi dan berjuang.
Bukan banyak protes.
Hihihihi
Mantap syg..tingktkan lg y💪👍
BalasHapus