Menanyakan Kembali Habitus Mahasiswa
(Sumber : MUDANEWS.COM) |
Papyrus - Sesuai judul, apa sebenarnya yang membingkai seseorang begitu terpelajarnya dengan predikat mahasiswa? Apakah kepantasan predikat itu tidak terlalu berlebihan, mengingat penyusun kata dari istilah "Mahasiswa" adalah pemantapan citra dominasi?
Patut disayangkan, saya benar-benar mempertanyakan kembali hal ini setelah melewati beberapa semester di bangku kuliah, bukan sejak pertama kali hendak kuliah. Atau setidaknya di awal-awal semester menjalani aktivitas sebagai mahasiswa. Ya, barangkali bukan hanya saya yang mengalami hal ini, bisa jadi diluar sana banyak juga mahasiswa mempertanyakan hal serupa. Atau tidak sama sekali?
Memasuki kampus, saya mengenal para mahasiswa dari berbagai golongan. Berbagai daerah, latarbelakang berbeda, ras, budaya, maupun agama, tentunya juga habitus mereka.
Pluralitas ini disatukan oleh satu bingkai kampus yang menjadi tujuan tamatan sekolah menengah atas melanjutkan pendidikan dari berbagai daerah.
Ada hal menarik ketika menjalani proses pendidikan sebagai mahasiswa. Pertama dari beban intelektual yang disandang dari penyematan istilah "Maha" dan "Siswa".
Tentu saja, naiknya jenjang pendidikan dan status yang disematkan adalah gambaran formalitas sebagai pembeda dari sekedar anak sekolahan.
Gambaran formalitas ini memang tidak begitu krusial jika dipandang secara lahiriah saja. Artinya, mahasiswa tetaplah mahasiswa meskipun ia sekedar masuk kuliah, ngopi di kantin kampus, lalu pulang dan mengerjakan tugas jika ada. Tidak lebih. Toh sama saja, mahasiswa dan anak sekolahan sama-sama menuntut ilmu di lembaga pendidikan.
Yang benar saja? Apakah hanya itu menjadi mahasiswa? Sebenarnya, penyematan predikat pada sesuatu tidak lepas dari tujuan, fungsi dan esensinya sesuatu itu menyandang predikat.
Ada nilai-nilai humanis nan luhur yang diharapkan pada mahasiwa untuk mereka perjuangkan. Idealisme ini tertanam sejak awal mengapa harus ada pendidikan.
Menjadi mahasiswa artinya sadar bahwa posisi dan tugas mereka bukan main-main, cukup radikal memang. Tapi tidakkah kita merasa sangsi jika sewaktu-waktu formalitas itu tidak sedikitpun bisa mewakili kualitas yang kita emban? Sebab intelektual lekat sekali dengan muasal kata itu lahir, yaitu belajar, membaca, berdiskusi, aktif dalam kegiatan edukatif kampus, organisasi progresif, lingkungan maupun kemanusiaan.
Ngomong-ngomong, membaca buku dan berdiskusi sedikit terdengar klise di tengah gempuran teknologi modern macam gadget atau lifestyle kekinian yang pendasarannya pada pemujaan kenikmatan materialis.
Belum lagi kegandrungan kita terhadap konten-konten yang menguasai waktu dengan lebih banyaknya meluangkan waktu memainkan gadget, atau konten pribadi yang sengaja kita buat dalam agenda romantisme. (Jangan kira saya menolak pacaran atau hal-hal yang berbau asrama itu. Ini lebih pada sikap prioritas dan proporsional saja).
Kedua, beban moral. Suatu ketika saya pernah mendengar bisik-bisik tetangga di kampung. Mereka sedang membicarakan salah satu mahasiswa yang tertangkap basah "berkencan" dengan perempuan. Parahnya, perempuan itu memiliki tunangan. Jadilah bisik-bisik itu semakin mengurangi nilai tawar mahasiswa. Maklum saja, masyarakat kampung terbiasa hidup dengan ekspektasi tinggi sekaligus sinisme akut yang tak seimbang.
Memang benar bahwa semestinya pendidikan itu mampu mengubah sikap buruk menjadi baik, atau yang baik jadi lebih baik. Tidak terlalu jauh berbeda sebenarnya dengan masyarakat perkotaan. Tapi cerminan ini tidak semata ekspektasi, bedanya hanya dalam hal lebih besarnya tuntutan itu.
Konteks yang saya jabarkan di atas cenderung pada latar belakang saya yang orang kampung ini. Maksudnya, masyarakat memandang moralitas lebih tinggi daripada kapasitas keilmuan. Kapasitas keilmuan diharapkan mampu mencerminkan moralitas sesuai tingkatan pendidikannya, lebih-lebih seorang mahasiswa.
"Habitus" Mahasiswa
Latar belakang berbeda, tuntutan dan perkembangan zaman secara tidak langsung mulai menggeser pandangan manusia modern tentang hidup. Dalam hal ini mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat modern menjadi fokus dalam tulisan ini.
Dari sebagian literatur yang saya baca, amat menarik mendasarkan pertanyaan seputar mahasiswa menggunakan salah satu gagasan Bourdieu tentang Habitus.
Bourdieu adalah salah satu tokoh sosiolog modern, tepatnya tokoh kritis era post-strukturalis yang dilahirkan pada 1 Agustus 1930 di Denguin, Perancis.
Gagasan habitus Bourdieu ini sebenarnya mengambil secuil dari banyaknya gagasan Bourdieu lainnya seperti relasi dialektika struktur subjektif dengan struktur objektif dan lain sebagainya.
Habitus mengacu pada apa yang ada dan dimiliki oleh seseorang (Agen, individu). Maksudnya, habitus sebagai skema persepsi dari hasil internalisasi pengalaman hidupnya, kemudian skema persepsi ini menentukan mentalitas seseorang dalam memandang realitas.
Habitus adalah segala hal yang berasal dari pengalaman manusia, mengendap dalam pikiran kemudian menjadi acuan bagaimana seseorang itu bertindak.
Proses internalisasi ini mengonstruk lahir batin seseoang dalam segala hal, membentuk seorang individu berdasarkan endapan pengalaman dari lingkungan ia berada.
Gagasan habitus ini dalam konteksnya yang khusus, yaitu mahasiswa, menjadi pertimbangan penting bagaimana seorang mahasiswa melandasi proses edukasinya dengan kegiatan akademis atau hiburan semata.
Dalam hal ini, yang menjadi alasan adalah tentang minat mengapa mahasiswa menggandrungi sesuatu hal atau bahkan tidak menyukainya.
Sebagai contoh, dalam satu ruang kelas kuliah, banyak dari kita yang memiliki hobi maupun kebiasaan berbeda, mulai dari yang akademis, olahraga, pecinta alam, kesenian, dan sebagainya.
Perbedaan minat ini pada akhirnya tidak akan menyatukan bangunan kokoh sebagai lembaga akademis yang berisi sekumpulan intelek, tanpa dilandasi oleh nilai-nilai fundamental.
Nilai fundamental ini seharusnya menjadi pilihan selera utama mahasiswa seperti belajar menekuni apa yang sedang mereka tempuh dalam kuliah.
Faktanya, saat ini mahasiswa lebih demen menggandrungi gadget, main game, menikmati konten-konten viral internet tak mendidik, video-video prank cewek cantik, grebek rumah artis, ulasan kehidupan seorang tokoh selebriti, sampai pada menjadi “gelandangan dermawan”.
Apakah saya terlalu sinistik menggambarkan pemirsa youtube? Ini hanya sekilas aktivitas dunia maya, sementara dalam dunia nyata?
Mahasiswa yang diharapkan mampu menemukan pemahaman dan upaya emansipatoris menyusut pada perbudakan kenikmatan yang selalu menagih untuk dipenuhi.
Dialog-dialog dan tindakan-tindakan komunikatif untuk menghasilkan pencerahan sudah terdistorsi pada ranah yang semakin bias, semakin menjauh dari posisinya: hedonisme.
Wait, hedonisme? Sejak kapan kesenangan duniawi mesti ditiadakan selama masih hidup di alam fisik? Modernitas serta gempuran teknologinya, katakanlah gadget tidak hanya mempermudah akses yang berhubungan dengan internet, namun menggiring manusia modern, termasuk mahasiswa, menjadi pribadi yang hanya mementingkan hal-hal yang berbau hiburan sesaat.
Penting gak penting, berharap saja agar kesannya tidak pada sia-sia. Sebab ini adalah era dimana mahasiswa benar-benar dihadapkan pada realitas dimana kemapanan adalah hal yang mesti dipertanyakan kembali.
Tunggu dulu, apa menariknya minat dengan pentingnya menjadi mahasiswa?
Tentu saja minat itu sewenang-wenang atau terserah selera masing-masing orang. Tak ada larangan dalam hal sekedar menaruh minat. Tapi minat ataupun selera sama sekali tidak netral.
Bagaimanapun, habitus itu sudah mengonstruk kita sedemikian rupa, hingga dalam hal-hal sepele seperti selera.
Bagaimana jika selera kita adalah selera palsu? Kita ternyata meminati hal-hal yang disediakan oleh 'otoritas anonim' yang hanya menyediakan pilihan sesuai produksi mereka? Kita ternyata tidak punya cukup pilihan menentukan opsi-opsi lain selain dari yang telah disediakan.
Lifestyle ala masyarakat modern dan slogan kekininannya kita konsumsi dari berbagai tempat, media iklan di internet, televisi, ataupun saluran informasi lainnya hingga pada interaksi empirik sesama manusia.
Sementara modernitas membiakkan masifnya produksi hingga menuntut manusia menjadi konsumtif. Minat kita adalah konsumsi terhadap produk modernitas yang semakin absurd dan kehilangan nilai-nilai humanisnya itu.
Lalu bagaimana manusia, khususnya mahasiswa, sebagai kalangan muda-mudi yang energik memahami fitrahnya sebagai pembawa pencerahan?
Bukan tanpa alasan, degradasi minat akan hal-hal akademis menandai lahirnya mahasiswa millenial yang semakin jauh dari kegiatan edukatif.
Budaya gadgeting menjadi gandrung di kalangan mahasiswa, apalagi seabrek konten yang diaksesnya sama sekali tidak lagi mendidik. Jika tugas dan fungsi fundamental ini makin diabaikan, hal yang diragukan kemudian adalah bagaimana kalangan mahasiswa ini mewujudkan Tridharma Perguruan Tinggi?
Peralihan minat yang digandrungi ini semakin memperjelas jarak antara realitas dengan predikat yang semestinya kita banggakan.
Predikat mahasiswa adalah amanat yang kita emban tidak hanya ketika secara sah atau semasih aktif kuliah, namun amanat itu akan terus membersamai kita. Inilah idealisme yang sebenarnya. (Ubaidillah - Mahasiswa Ilmu Komunikasi)
Tidak ada komentar