Feature : Nyawa Harus Digantikan Dengan Keadilan
Tak terasa 100 hari lebih sudah, tragedi Kanjuruhan berlalu. Namun, duka masih menyelimuti masyarakat Indonesia, khususnya kota Malang atau Aremania dan keluarga korban yang ditinggalkan. Trauma yang mendalam pun, sangat sulit dirasakan oleh orang atau korban, yang sempat selamat dari tragedi Kanjuruhan itu.
Kota Malang menjadi saksi sejarah, atas tragedi yang mencekikkan itu. Ratusan korban tewas dan tak bernyawa dalam sekejap mata. Hampir setiap Desa kota Malang, harus menelan pil pahit dan menyaksikan anggota keluarga mereka pergi untuk selamanya. Salah satu Desa, yang turut merasakan hal tersebut adalah Desa Mergosono. Mergosono pun menjadi saksi bisu, atas tragedi itu. Terdapat 5 orang korban yang meninggal dari kampung tersebut, dan ada juga yang berhasil selamat.
Malam yang dingin menyelimuti Kota Malang, yang ramai dengan ketukan lato-lato di setiap sudut gang. Mengenang 100 hari tragedi Kanjuruhan, seorang pemuda asal Mergosono Faisal Akbar, duduk di tepi jalan, dengan sepasang mata sipitnya menyaksikan Festival Solidaritas Kampung Kota, dari Pemuda Mergosono. Tak bisa dibohongi, terlihat dari kedua bola matanya, masih menyimpan ketakutan yang mendalam. Ketakutan yang entah sampai kapan, akan sirna dari kesehariannya.
Segudang materi pun, tak bisa menggantikan nyawa yang telah hilang. Begitulah kalimat yang sampai kini, masih terdengar ramai di Kota yang indah ini. Kalimat, yang juga sering diucapkan oleh Faisal. "Hanya dengan menuntut keadilan, yang bisa membuat trauma saya sedikit menghilang,” ucapnya, pada Sabtu, 13 Januari di sela-sela festival berlangsung.
Sebagai salah satu korban yang selamat dalam tragedi itu, dengan lantang dan secara sadar bahwa, jelas tragedi ini termasuk ke dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Hingga, segala upaya dati masyarakat sipil pun, terus dilakukan untuk menuntut keadilan, dan transparansi dari aparat pemerintahan. “Kami tetap menuntut keadilan, karena ini memang bener benar pelanggaran HAM berat. Soalnya, yang terlibat bukan antara warga sipil dengan warga sipil. Tetapi, aparat yang bukan merupakan seporsinya," katanya.
Di tengah rasa traumanya, Faisal berusaha untuk keluar dari zona itu, dan terus menyuarakan tragedi itu bersama warga setempat, dan Arek Malang atau Aremania. Begitu pula warga Desa Mergosono, yang belum bisa melupakan tragedi 01 Oktober silam.
Solidaritas mereka sangat kokoh, untuk terus berjuang, demi ratusan nyawa yang sudah hilang. Hingga, berbagai kegiatan dilakukan agar masyarakat Indonesia, khususnya Desa Mergosono tidak melupakan sejarah pahit itu. Dengan adanya Festival Solidaritas Kampung Kota dari warga setempat, bisa membuka mata masyarakat, bahwa trauma warga Mergosono bisa dengan hal-hal yang menjunjung solidaritas.
Pemuda bertubuh kurus itu, menceritakan Festival yang diadakan, jauh berbeda dari yang sebelumnya. Aksi turun ke jalan, tak lagi dilakukan oleh warga setempat. Dengan penuh kesadaran, mereka menggelar kegiatan yang melibatkan banyak elemen masyarakat, bukan hanya dari warga setempat.
Tetapi juga, turut diramaikan oleh anak-anak dan mahasiswa dari beberapa kampus yang ada di Kota Malang. Semuanya dilakukan untuk, meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap tragedi itu. “Kalau kita turun jalan, mungkin yang peduli dengan kasus ini hanya suporter. Menurut pandangan saya, warga sipil kurang peduli dengan tragedi ini. Maka dari itu, saya bersama teman-teman, membuat festival ini, untuk menolak lupa,” tuturnya. (Andi/Asri/Fathur)
Tidak ada komentar